Derajat dan
Tingkatan manusia
Kemampuan manusia dalam mengendalikan hawa nafsunya
berbeda-beda. Imam al-Ghazali menjelaskan, ada tiga tingkatan manusia
dalam hal ini.
Pertama, orang yang dikuasai oleh hawa nafsu dan bahkan
menjadikannya sebagai tuhan sesembahannya (lihat QS. 25:43 dan QS. 45:23).

Terangkanlah
kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka
apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?
(Q.S. Al
Furqon /25 : 43)

Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya,
dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci
mati pendengaran dan hati-nya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka
siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).
Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
(QS. Al Jatsiyah/45 : 23)
Mereka yang terbelenggu oleh hawa nafsunya akan cenderung
pada kesesatan, karena pen-dengaran dan kalbunya sudah terkunci. Mereka
diibaratkan seperti anjing (QS. 7:176), oleh karena itu tidak layak dijadikan
pemimpin.

Dan
kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan
ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya
yang rendah, maka perumpa-maannya seperti anjing jika kamu menghalaunya
diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiar-kannya dia mengulurkan lidahnya
(juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang men-dustakan ayat-ayat
Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS. Al A’rof/7 : 176)
Kedua, yang selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya. Maka terkadang
ia mampu mengendalikannya dan terkadang tidak. Mereka ini tergolong mujahidin.
Jika saat kematian datang menjemputnya, sedangkan ia dalam usaha mengendalikan
hawa nafsunya, maka ia tergolong syuhada'. Sebab ia sedang menyibukkan dirinya
menjalankan perintah Rasulullah SAW untuk memerangi hawa nafsu seperti
memerangi musuhnya.
Ketiga, golongan yang berhasil mengendalikan hawa nafsu dan
mengalahkannya dalam kondisi apapun. Mereka inilah golongan penguasa sejati
yang telah terbebas dari belenggu hawa nafsu. Umar bin Khattab merupakan salah
satu contoh orang yang menduduki peringkat ini, hingga Nabi pun bersabda bahwa
setan akan mengambil jalan yang tidak dilalui Umar.
Oleh sebab itu, dalam rangka melepaskan belenggu nafsu dan
untuk meraih kebahagiaan ha-kiki, beliau menjelaskan empat kiat, yaitu : (1) mengenal diri, (2) mengenal Pencipta, (3) mengenal hakekat
dunia, dan (4) mengenal hakekat akherat.
Dalam proses mengenali diri, Imam al-Ghazali memberikan
bahan introspeksi harian (muha-sabah). Misalnya: Anda itu apa? Anda
datang ke tempat ini dari mana? Untuk tujuan apa Anda diciptakan? Karena
apa Anda berbahagia? Dan mengapa harus merasa sengsara?
Pengenalan diri, Imam al-Ghazali menjelaskan ada empat potensi dalam diri
manusia, masing-masing memiliki kebahagiannya sendiri. Keempat potensi tersebut
adalah:
sifat binatang
ternak, sifat binatang buas, sifat setan, sifat malaikat.
1. Binatang
ternak akan merasa bahagia, pada saat makan, minum, tidur dan melampiaskan
hasrat seksnya.
2. Kebahagiaan binatang
buas, pada saat ia berhasil memukul dan membunuh lawannya.
3. Kebahagiaan setan,
pada saat ia berhasil melakukan makar, kejahatan dan tipu muslihat.
4. Kebahagiaan malaikat
pada saat menyaksikan indahnya kehadiran
Tuhan. (lihat: Kimiya al-Sa'adah).
Menurut
Imam al-Ghazali, kebahagiaan dan jiwa yang sehat itu diawali dengan ilmu
pengeta-huan. Maka barang siapa yang sudah hilang kemauan untuk mencari Ilmu
(belajar), maka orang itu ibarat orang yang habis seleranya untuk memakan
makanan yang baik; atau seperti orang yg lebih suka makan tanah daripada makan
roti. Sebab kebahagiaan hakiki adalah hakekat spiritual yang kekal, keyakinan
pada hal-hal mutlak tentang hakikat alam, identitas diri dan tujuan hidup.
Kesemuanya itu berawal dari ilmu dan bermuara pada mahabbatullah (cinta kepada
Allah).
Pada saat hijrah ke
Madinah, abad ke 7 M, Nabi saw mengungkapkan, bahwa orang berhijrah itu disetir
oleh tiga orientasi (tujuan): seks, materi (harta dan jabatan), dan idealisme
atau keimanan (lillahi wa rasulihi). Artinya, manusia itu bisa jadi seharga engan
dorongan perut-nya, atau dorongan seksualnya, atau dapat menjadi idealis,
meninggalkan kedua dorongan jiwa hewani dan nabati itu. Jadi semua perilaku manusia hakekatnya disetir oleh jiwa atau nafs-nya. Nafs mempunyai banyak anggota, yang oleh al-Ghazzali disebut tentara hati (junud al-qalbi). Anggota nafs dalam al-Qur’an diantaranya adalah qalb (hati), ruh (roh), aql (akal) dan iradah (kehen-dak) dsb. Al-Qur’an menyebut kata nafs sebanyak 43 kali, 17 kali kata qalb-qulub, 24 kali kata ta’aqilun (berakal), dan 6 kali kata ruh-arwah. Itulah, modal manusia hidup di dunia.
Nabi
menjelaskan peran qalb dalam hidup manusia. Menurutnya, aspek penentu hakekat
ma-nusia adalah segumpal darah (mudghah), atau qolb. Qolb menjadi penentu kesalehan dan kejahatan jasad
manusia (HR. Sahih Bukhari). Karena begitu menentukannya fungsi qalb itulah
Allah hanya melihat qalb manusia dan tidak melihat penampilan dan hartanya.
(HR. Ahmad ibn Hanbal). Sejatinya, qalb adalah wajah lain dari nafs, maka
dari itu qalb atau nafs manusia itu bertingkat-tingkat. Para
ulama menemukan tujuh tingka-tan nafs dari dalam al-Qur’an:
Pertama, nafs al-ammarah bis-su’, atau nafsu pendorong kejahatan. Ini adalah tingkat nafs paling rendah yang melahirkan sifat-sifat seperti takabbur, kerakusan, kecemburuan, nafsu syahwat, ghibah, bakhil dsb. Nafsu ini harus diperangi.
Pertama, nafs al-ammarah bis-su’, atau nafsu pendorong kejahatan. Ini adalah tingkat nafs paling rendah yang melahirkan sifat-sifat seperti takabbur, kerakusan, kecemburuan, nafsu syahwat, ghibah, bakhil dsb. Nafsu ini harus diperangi.
Kedua, nafs
al-lawwamah. Ini adalah nafs yang memiliki tingkat kesadaran awal melawan
nafs yang pertama. Dengan adanya bisikan dari qalb-nya, nafs menyadari
kelemahannya dan kembali kepada kemurniannya. Jika ini berhasil maka ia akan
dapat meningkatkan diri kepada tingkat diatasnya.
Tingkat ketiga adalah Nafs al-Mulhamah atau jiwa yang terilhami. Ini adalah tingkat jiwa yang memiliki tindakan dan kehendak yang tinggi. Jiwa ini lebih selektif dalam menyerap prinsip-prinsip. Ketika nafs ini merasa terpuruk kedalam kenistiaan, segera akan terilhami untuk mensucikan amal dan niatnya.
Tingkat ketiga adalah Nafs al-Mulhamah atau jiwa yang terilhami. Ini adalah tingkat jiwa yang memiliki tindakan dan kehendak yang tinggi. Jiwa ini lebih selektif dalam menyerap prinsip-prinsip. Ketika nafs ini merasa terpuruk kedalam kenistiaan, segera akan terilhami untuk mensucikan amal dan niatnya.
Keempat, Nafs
al-mutma’innah atau jiwa yang tenang. Jiwa ini telah mantap imannya dan
tidak mendorong perilaku buruk. Jiwa yang tenang yang telah menomor duakan
nikmat materi.
Kelima, Nafs al-Radhiyah atau jiwa yang ridha. Pada tingkatan ini jiwa telah ikhlas menerima keadaan dirinya. Rasa hajatnya kepada Allah begitu besar. Jiwa inilah yang diibaratkan dalam doa: Ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi (Tuhanku engkau tujuanku dan ridhaMu adalah kebutuhanku).
Kelima, Nafs al-Radhiyah atau jiwa yang ridha. Pada tingkatan ini jiwa telah ikhlas menerima keadaan dirinya. Rasa hajatnya kepada Allah begitu besar. Jiwa inilah yang diibaratkan dalam doa: Ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi (Tuhanku engkau tujuanku dan ridhaMu adalah kebutuhanku).
Keenam, Nafs
al-Mardhiyyah, adalah jiwa yang berbahagia. Tidak ada lagi keluhan,
kemarahan, kekesalan. Perilakunya tenang, dorongan perut dan syhawatnya tidak
lagi bergejolak dominan.
Ketujuh, Nafs
al-Safiyah adalah jiwa yang tulus murni. Pada tingkat ini seseorang dapat
disifati sebagai Insan Kamil atau manusia sempurna. Jiwanya pasrah pada Allah
dan mendapat petunjukNya. Jiwanya sejalan dengan kehendakNya. Perilakunya
keluar dari nuraninya yang paling dalam dan tenang.
Begitulah jiwa manusia.Ada
pergulatan antara jiwa hewani yang jahat dengan jiwa yang tenang. Ada peningkatan pada
jiwa-jiwanya yang tenang itu. Sahabat Nabi Sufyan al-Thawri pernah mengatakan
bahwa dia tidak pernah menghadapi sesuatu yang lebih kuat dari nafsunya;
terkadang nafsu itu memusuhinya dan terkadang membantunya. Ibn Taymiyyah
menggambarkan pergulatan itu bersumber dari dua bisikan: bisikan syetan (lammat
a-syaitan) dan bisikan malaikat )lammat al-malak).
Perang melawan nafsu jahat banyak caranya. Menurut Yahya ibn Mu’adh al-Razi, Sahabat Nabi saw, memberikan tips: ada empat pedang untuk memerangi nafsu jahat: makanlah sedikit, tidurlah sedikit, bicaralah sedikit dan sabarlah ketika orang melukaimu… maka nafs atau ego itu akan menuruti jalan ketaatan, seperti penunggang kuda dalammedan
perang. Memerangi nafsu jahat ini menurut Nabi adalah jihad. Sabdanya “Pejuang
adalah orang yang memperjuangkan nafs-nya dalam mentaati Allah”
(al-Mujahidu man jahadi nafsahu fi ta’at Allah ‘azza wa jalla). (HR.Tirmidhi,
Ibn Majah, Ibn Hibban, Tabrani, Hakim dsb).
Kejahatan diri dalam al-Qur’an juga dianggap penyakit (QS 2:10). Sementara Nabi mengajarkan bahwa setiap penyakit ada obatnya.Para
ulama pun lantas berfikir kreatif. Ayat-ayat dan ajaran-ajaran Nabi pun
dirangkai diperkaya sehingga membentuk struktur pra-konsep. Dari situ menjadi
struktur konsep dan akhirnya menjadi disiplin ilmu.
Ilmu tentang jiwa atau nafs itu pun lahir dan disebut Ilm-al Nafs, atau Ilm-al Nafsiyat (Ilmu tentang Jiwa). Ketika Ilmu al-Nafs berkaitan dengan ilmu kedokteran (tibb), maka lahirlah istilah al-tibb al-ruhani (kesehatan jiwa) atau tibb al-qalb (kesehatan mental). Tidak heran jika penyakit gangguan jiwa diobati melalui metode kedokteran yang dikenal dengan istilah al-Ilaj al-nafs (psychoteraphy).
Dalam Ilmu al-Nafs
ditemukan bahwa raga dan jiwa berkaitan erat, demikian pula penyakitnya.
Psikolog Muslim asal Persia Abu Zayd Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934),
menemukan teori bahwa penyakit raga berkaitan dengan penyakit jiwa. Alasannya,
manusia tersusun dari jiwa dan raga. Manusia tidak dapat sehat tanpa memiliki
keserasian jiwa dan raga. Jika badan sakit, jiwa tidak mampu berfikir dan
memahami, dan akan gagal menikmati kehidupan. Sebaliknya, jika nafs atau jiwa
itu sakit maka badannya tidak dapat merasakan kesenangan hidup. Sakit jiwa lama
kelamaan dapat menjadi sakit fisik. Itulah sebabnya ia kecewa pada dokter yang
hanya fokus pada sakit badan dan meremehkan sakit mental. Maka dalam bukunya
Masalih al-Abdan wa al-Anfus, ia mengenalkan istilah al-Tibb al-Ruhani
(kedokteran ruhani).Begitulah jiwa manusia.
Perang melawan nafsu jahat banyak caranya. Menurut Yahya ibn Mu’adh al-Razi, Sahabat Nabi saw, memberikan tips: ada empat pedang untuk memerangi nafsu jahat: makanlah sedikit, tidurlah sedikit, bicaralah sedikit dan sabarlah ketika orang melukaimu… maka nafs atau ego itu akan menuruti jalan ketaatan, seperti penunggang kuda dalam
Kejahatan diri dalam al-Qur’an juga dianggap penyakit (QS 2:10). Sementara Nabi mengajarkan bahwa setiap penyakit ada obatnya.
Ilmu tentang jiwa atau nafs itu pun lahir dan disebut Ilm-al Nafs, atau Ilm-al Nafsiyat (Ilmu tentang Jiwa). Ketika Ilmu al-Nafs berkaitan dengan ilmu kedokteran (tibb), maka lahirlah istilah al-tibb al-ruhani (kesehatan jiwa) atau tibb al-qalb (kesehatan mental). Tidak heran jika penyakit gangguan jiwa diobati melalui metode kedokteran yang dikenal dengan istilah al-Ilaj al-nafs (psychoteraphy).
Jadi,
hakekatnya manusia yang dikuasai oleh dorongan nafsu hewani dan nabati saja,
boleh jadi sedang sakit. Manusia sehat adalah manusia yang nafsunya dikuasai
oleh akalnya, qalb-nya untuk taat pada Tuhannya. Itulah insan kamil yang
memiliki jiwa yang tenang, yang kembali pada Tuhan dan masuk surganya dengan
ridho dan diridhoi. Itulah manusia yang selama hidupnya menjadi sinar cahaya
(misykat) bagi umat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar